Billy Koesoemadinata - Burung Kertas |
“Tanggal berapa sekarang?” Hikaru memecah kesunyian. Kuhentikan sebentar
pekerjaan tugasku, dan menatapnya.
“Memangnya kenapa?”
“Aku tanya, tanggal berapa sekarang? Jawab saja!”
“Dua April. Memang kenapa?”
Hikaru meninju telapak tangannya. Ia berdiri dan menatapku. Aku bingung.
“Wah! Artinya, sekarang minggu terakhir musim dingin! Asyik!”
“Lalu?”
Aku tak tertarik. Aku kembali mengerjakan tugas. Hikaru memegang pundakku.
Ia menggoncang-goncangkannya.
“Minggu depan musim semi! Minggu depan sudah musim semi!”
“Ya, dan ada apa dengan musim semi? Kenapa kau begitu bersemangat?”
“Tidakkah kau sadari ada yang spesial dan khusus dengan musim semi? Itu
saatnya bunga Sakura bermekaran! Pasti asyik! Kita bisa duduk bersantai di
bawahnya, sambil ngobrol! Dan, siapa tahu ada cowok!”
“Yah, terserah. Tapi, dari mana kau tahu kata ‘cowok’? Itu ‘kan tidak baku?”
Hikaru tersenyum. “Kau.”
Aku menggeleng. Ada-ada saja Hikaru ini!
“Yah, tapi kata itu jangan kau ucapkan di situasi resmi, ya?”
Aku kembali mengerjakan tugas. Tapi, sepertinya Hikaru belum menyerah.
“Ayolah, Ghita-chan! Di mana semangat musim semi-mu?”
Kusimpan pena, dan menutup kedua buku tugasku. Kutatap Hikaru dengan
tajam. Ia masih saja tersenyum-senyum. Seakan-akan mengajakku untuk ikut
tersenyum juga.
“Hikaru sahabatku, mana bisa aku memiliki semangat itu? Aku ‘kan ekspat!
Orang asing! Kau sudah lupa hal itu, ya?”
“Tapi, kau ‘kan sudah tiga tahun di Tokyo. Selama itu pula, kau ‘kan sudah
melewati tiga kali musim semi. Memangnya, ada apa dengan musim semi
sampai kau tidak mempedulikannya? Apa tidak ada sesuatu yang menular dan
membekas padamu?”
Aku bangkit.
“Ya, ada! Ada yang membekas dari tiga kali musim semi itu. Yaitu, rasa iri! Ya!
Aku iri! Aku iri dengan bunga Sakura yang indah dan hanya ada di negaramu!
Sementara di negaraku, apa? Bahkan, musim semi pun, aku tak pernah
mengenalnya sampai saat ini!”
Hikaru diam tak menjawab.