ads here

NOVEL O KARYA EKA KURNIAWAN GRATIS

advertise here

NOVEL O KARYA EKA KURNIAWAN GRATIS



Hasil gambar untuk NOVEL O KARYA EKA KURNIAWAN GRATIS



“ENGGAK GAMPANG JADI MANUSIA,” pikir O,… (hal. 1)

NOVEL ini dimulai dengan seekor monyet bernama O mengenang sebuah keributan yang dilakukan kekasihnya, Entang Kosasih, monyet urakan dengan mimpinya yang setinggi langit dan tidak masuk akal. Dia berkeinginan menjadi manusia, mengikuti Armo Gundul, monyet terdahulu yang kisahnya yang menjadi salah satu monyet yang benar-benar berubah menjadi manusia dan kisahnya diceritakan turun temurun oleh monyet-monyet yang ada di Rawa Kalong.

“Impian? Apa yang kamu inginkan?”

“Aku ingin menjadi manusia.” (hal. 48)

SEMPURNA. Semua monyet menganggap Entang Kosasih sudah gila dengan mimpinya, namun hanya O, kekasihnya yang menerima kegilaannya serta masih menganggapnya waras. Namun, bukan berarti O tidak menentang keinginan Entang Kosasih. Beberapa kali O berharap Entang Kosasih berhenti memimpikan keinginannya dan menikahinya di bulan ke sepuluh.

Eka Kurniawan tidak menceritakan O sebagai tokoh fable, tetapi sebagai tokoh semi fable. Karena secara keseluruhan cerita ini tidak hanya mengenai binatang, O. Namun, ada banyak karakter dengan kisahnya masing-masing yang berkaitan dengan O. Seperti tentang revolver, Sobar dan Joni Simbolon si polisi, Tomi Bagong, Kirik, Betalumur, dan masih banyak lagi. Dia menceritakan mereka dengan ciri khasnya yang seolah memberikan pembacanya puzzle yang harus diselesaikan. Dengan alur non-linear, dia mengajak pembaca untuk mendapatkan twists dari potongan-potonganpuzzle hingga mencapai klimaksnya.

Pada awalnya, aku sempat merasa bosan—ingin berhenti membaca—dan tidak menemukan sesuatu yang sangat menarik selain menemukan banyak potongan puzzle yang sama sekali tidak aku ketahui bagaimana menyusunnya. Katakanlah potongan-potangan itu terlalu acak dan rumit, sehingga rasanya “kok loncat sana-sini enggak karuan ya?” Bahkan, setiap puzzle rasanya tidak bisa disusun. Lalu, sampai pada bagaimana Entang Kosasih berhasil menggunakanrevolver milik Joni. Bukan masalah bagaimana dia bisa membunuh pemilik revolver dengan revolver tersebut, melainkan dari sana potongan-potongan yang awalnya tidak bisa disusun mulai bisa menemukan susunannya.

Bagaimanapun juga, Eka mampu membuat seseorang terpesona begitu yang melihatnya menemukan apa yang dia sembunyikan di balik bajunya. Karyanya tidak lepas dari berbagai karakter-karakter yang diciptakan secara unik bersama konflik-konflik mereka yang tentunya membuat pembaca menemukan berbagai penafsiran dengan mengatakan oh ini nih yang dimau penulisnya.


Cinta. Eka mencoba mengajak kita merenungkan arti cinta dari berbagai sudut pandang. Mulai dari bagaimana mencintai sesama makhluk. Cinta itu membuat bahagia, tapi cinta bukan satu-satunya hal yang membuat bahagia atau perlukah ada pengorbanan dalam mencintai sesama? Dan tentang kesetiaan pada cinta yang diuji. Hingga cinta yang lebih rumit, yakni kepada Tuhan. Dengan latar kehidupan orang-orang menengah ke bawah, karya ini menyampaikan apa itu agama dan bagaimana menyerukan kebaikan untuk menjadi lebih dekat dengan Tuhan melalui karakter syekh, kyai, bahkan burung kakaktua yang paling menyebalkan.

Selain cinta, O memberikan kisah di mana Entang Kosasih, kekasih O, yang dengan gagah berani membahayakan nyawanya sendiri untuk menyelamatkan seorang bocah dari ular Sanca yang hampir setengah memakan bocah tersebut. Selanjutnya bahkan dia berusaha mencelakai salah satu monyet dan manusia ketika dia berhasil membawa kaburrevolver.

Tidak hanya itu. O juga memasukkan kisah binatang (peliharaan) dan manusia (pemilik binatang) memiliki hubungan yang dekat seperti pada kehidupan nyata. Banyak kejadian-kejadian menyentuh di antara mereka seperti O dengan Betalumur (pawing topeng monyet), Kirik dengan Rini Juwita, burung Kakaktua dengan Syekh, dan masih banyak lagi.

Dengan berbekal cerita yang rumit dan terasa berat, Eka berhasil merajut kisah O dengan ringan namun tetap berbobot. Bahkan, beberapa kali aku sempat tertawa dengan humor-humor yang secara sederhana diselipkan sehingga jauh lebih terasa ringannya. Namun, dengan gaya penuturan Eka yang lincah, membuatku menyadari bahwa ia tengah menyindir secara halus perilaku manusia—yang kadang manusia itu sendiri lebih menyerupai binatang.

“Huh, manusia. Dari sampah kembali ke sampah.” (hal. 470)


Image result for DOWNLOAD EBOOK

Click to comment