Ahmad Tohari - Di Kaki Bukit Cibalak |
Dulu, jalan setapak itu adalah terowongan yang menembus belukar puyengan. Bila iring- iringan kerbau lewat, tubuh mereka tenggelam di bawah terowongan semak itu. Hanya bunyi korakan yang tergantung pada leher mereka terdengar dengan suara berdentang-dentang, iramanya tetap dan datar. Burung-burung kucica yang terkejut, terbang mencicit. Mereka tetap tidak mengerti mengapa kerbau-kerbau senang mengusik ketenteraman belukar puyengan tempat burung-burung kecil itu bersarang. Meskipun kerbau-kerbau itu telah jauh memasuki hutan jati Bukit Cibalak, suara korakan mereka masih tetap terdengar. Dan bunyi korakan adalah pertanda yang selalu didengarkan oleh majikan. Para pemilik kerbau di sekitar kaki Bukit Cibalak tidak menggembalakan ternak mereka. Binatang itu bebas berkeliaran mencari rumput, mencari umbut gelagah, atau berkubang di tepi hutan jati. Sering kali kerbau-kerbau itu tidak pulang ke kandang. Artinya, mereka tidur di hutan atau sedang berahi pada pejantan milik tetangga di sana. Pernah tedadi kerbau Mbok Sum tiga hari tidak pulang. Pada hari keempat binatang itu muncul bersama anaknya yang baru lahir di tengah hutan. Pada waktu itu masih banyak harimau Jawa berkeliaran di hutan jati Cibalak. Tetapi binatang buas itu lebih suka menerkam monyet atau lutung, apalagi celeng pun masih banyak terdapat di sana.
Sekarang terowongan di bawah belukar puyengan itu lenyap, berubah menjadi jalan setapak. Tak terdengar lagi suara korakan kerbau karena binatang itu telah banyak diangkut ke kota, dan di sana akan diolah menjadi daging goreng atau makanan anjing. Di sekitar kaki Bukit Cibalak, tenaga kerbau telah digantikan traktor-traktor tangan. Burung-burung kucica yang telah turun-temurun mendaulat belukar puyengan itu terpaksa hijrah ke semak-semak kerontang yang menjadi batas antara Bukit Cibalak dan Desa Tanggir di kakinya. Orang-orang yang biasa memburuh dengan bajak, kemudian berganti pekerjaan. Pak Danu misalnya, yang dulu dikagumi orang karena kecakapannya memainkan bajak, kini bekerja pada Akiat. Ia menjadi tukang timbang ampas singkong. Gajinya berupa makanan yang ia terima pada hari itu plus sedikit uang. Dua orang anak gadis Pak Danu dibawa oleh makelar, menjadi babu di Jakarta, empat ratus kilometer jauhnya dari Desa Tanggir.