Ahmad Fuadi - Rantau 1 Muara |
Aku tancapkan kunci dan kuakkan pintu itu tergesa-gesa.
Macet. Tidak beringsut. Hanya anak-anak kunci lain yang
bergoyang berdenting-denting. Aku lorotkan ransel tambunku
yang seberat batu ke lantai, lalu aku miringkan badan dan
aku sorong pintu ini dengan bahu. Bruk. Daun pintu tripleks
ber cat biru muara itu akhirnya bergeser dengan bunyi terseret.
Engselnya merengek kurang minyak. Entah mengapa, di setiap
ka mar kos yang aku pernah sewa di kota ini, ukuran rangka dan
daun pintu jarang yang klop.
Aroma lembap seperti bau timbunan koran basah mengeru buti
hidungku begitu pintu menganga. Di tengah gelap, tanganku
mencari-cari sakelar di pojok kamar. Bohlam usang itu
mengerjap-ngerjap beberapa kali seperti baru siuman dan lalu
bersinar malas-malasan, bagai protes minta diganti. Di bawah
sinar lindap, aku melihat kamarku masih persis seperti waktu
aku tinggalkan. Dipan kayu dengan kasur busa yang kisut
bersanding dengan seonggok lemari plastik motif bunga anyelir
ungu yang sudah doyong ke kiri. Di sebelah pintu tegak sebuah
rak buku kelebihan beban dari kayu murahan, made in Balubur.